Jangan Cepat Lupa; Ganyang Malaysia!

Saya sudah tidak ingat lagi kapan pekik atau jargon heroik semacam itu menghilang. Seingat saya masih terdengar jelas saat SD. “Berani karena benar”, “Merdeka atau Mati!”, “Maju tak gentar”, “Bangkitlah Pemuda”, “Patriot Proklamasi”, “Semangat Empat-Lima”

Kemudian saya kuliah, dan sebagaimana fitrah mahasiswa, jadilah aktivis. Tahun 80-an, demontrasi lumayan risky. Mungkin karena penggiatnya tidak begitu banyak, jadi mudah diinteli. Aksi juga masih cukup seksi, belum begitu trendy layaknya saat ini. Ganti jaman, ganti pekikan. “Bubarkan Golkar”, “Cabut Dwi Fungsi ABRI”, “Seret Soeharto ke Sidang MPR”, “Hanya satu kata: Lawan!”, dan sebagainya. Saya lulus dan segera jadi mantan aktivis (Aktivis kok ada mantannya ya?!).

Tahun 98, aktivis mahasiswa makin banyak sekaligus tambah galak. Tentara dan polisi juga makin galak. Bentrokan hampir selalu terjadi di setiap aksi. Chaos sebagian dari iman. Dan jargon pun berganti. “Reformasi sampai mati!”, “Mahasiswa bersatu tak dapat dikalahkan”, “Satu komando, satu perlawanan”, “Rakyat Kuasa!”, dan sebagainya.

Wah, prolog ini terlalu panjang dan mungkin tidak begitu nyambung untuk maksud utama tulisan ini, tentang “Pengganyangan Malaysia”. Maklum, namanya juga “Tele-tele”. “Tele-Tele adalah nama rubrik yang saya kelola di http://www.telegraf-news.com. Baiklah, usah lagi berpanjang kata, mari kita ganyang jiran kita itu segera!

“Ganyang Malaysia” adalah satu dari sekian pekik yang telah menghilang. Pekik itu dengan garang dilansir oleh Soekarno saat menghendaki konfrontasi dengan Malaysia. Naga-naganya jargon itu kembali memekik seiring rapatnya Malaysia mencolok-colok urat perasaan kita.

Dari dunia olah raga, seorang wasit Tae Kwon Do kita dikeroyok dua polisi negeri itu. Juga pada urusan diplomatik, ada istri pejabat yang tidak rela hati lantaran digeledah RELA, semacam milisi di sana. Di ranah kesenian, Malaysia ngaku-aku lagu Rakyat Ambon “Rasa Sayange” sebagai karya moyang mereka, alat musik Angklung hasil kreasi mereka, sampai ngeklaim Reog sebagai milik mereka.

Kalau dilacak di internet, wah,.. akan tambah bikin esmosi aja! (Itu pengucapan “Emosi” ala Thukul). Ini beberapa di antaranya; Congklak, Egrang, Batik, Wayang, Kuda Kepang, Ronggeng, lagu Burung Kaka Tua, lagu Indung- Indung, lagu Ilir-Ilir, lagu Si Jali-Jali, lagu Bintang Kejora, lagu Abang Tukang Baso, dan masih banyak lagi.

Mau lebih emosi lagi? Cobalah lewat jalan Imam Bonjol di Menteng. Disana ada tanah kosong berpagar seng, konon milik Kerajaan Malaysia. Yah terserahlah, tapi di bilangan elit itu ada sebuah pamflet besar, yang sungguh tidak perlu sebesar itu – kecuali memang diniatkan untuk provokasi, bermaklumat; “Dilarang Masuk, Tanah ini milik Kerajaan Malaysia”. Sudah merasa terprovok? Kalau belum, coba klik; http://www.ihateindon.blogspot.com. Selanjutnya terserah Anda.

Tiba-tiba rasa patriotisme kita menggeliat untuk beberapa urusan yang sangat eksklusif. Warga Ambon protes dan siap membawa bukti bahwa “Rasa Sayange” asli produksi dalam negeri, Orang Sunda merasa tertelikung dan protes demi Angklung. Warga Jawa Timur demo di depan Kedutaan Malaysia demi Reog mereka, Idang Rasjidi berjanji tidak akan memainkan satu not pun untuk Malaysia. Sang Musisi menolak undangan main di negeri itu, dan hmm,.. mengandung maksud khusus atau tidak, Presiden SBY mewanti-wanti tentara agar selalu siap perang.

Sabar please. Mari sedikit bercanda. Malaysia, negeri itu lebih muda dari kita. Biarkan dia menikmati sikap kekanak-kanakannya. Kita harus pintar ngemong, jangan malah ikutan childish. Kita harus menjewernya apabila dirasa sang anak mulai nglunjak alias keterlaluan. Malaysia, kita tahu negeri itu memang ibarat anak manja. Kemerdekaannya hasil menghiba.

Namun rupanya perasaan kita tidak begitu peka. Moment keterlaluan itu telah terjadi, dan kita tidak mampu menjewer mereka. Saudara muda itu telah melakukan sekurangnya tiga keterlaluan untuk hal prinsipal kepada “Abangnya”. Pertama mereka bersikap rasis. Malaysia memanggil Bangsa Indonesia dengan sebutan “Indon”, yang akan termaknai “In Down” alias “Di bawah”. Negeri itu harus diajari agar paham bahwa tidak ada satu ras, agama, etnis, atau whatever-lah yang lebih unggul dibanding yang lain (toh, kalaupun teori ras unggul itu nanti ndlalah terbukti, tidak berarti manusia harus melakukan penindasan pada manusia lainnya kan?).

Ke dua, negeri yang tampak alim itu tidak sekadar memakai TKI, namun juga mengeksploitasi keringat buruh melebihi jam kerja. Acap kali menyiksa bahkan memperkosanya. Tidak sedikit TKI pulang negeri dalam peti. Ke tiga, mereka nyolong teritori dengan ngembat Sipadan dan Ligitan dan mungkin juga segera menyusul Ambalat.

Pembiaran – pembiaran itu jadi preseden bahwa Indonesia layak dilecehkan integrity kebangsaannya. Nah, kalau disebut ?Indon? saja kita cuek, kenapa sewot saat wasit kita di-KO? Kalau selama ini tutup mata dengan nasib buruh Indonesia, kenapa kita begitu merasa terhina saat seorang istri diplomat diragukan keabsahan paspornya? Kalau wilayah saja kita tidak mampu menjaga dari aneksasi, kenapa panik tatkala kesenian ? yang di negeri sendiri biasa diabaikan – tiba-tiba diaku oleh negeri tetangga? Indonesia toh akan diam saja. Takut?

Sepertinya sih masuk akal. Coba lihat, kemampuan teknologi dan jumlah peralatan militer kita kalah jauh dari Malaysia. “Tentara kita kan banyak dan jagoan?!”. Betul sih, tapi kalau dihitung prosentasenya dengan luas wilayah RI, sangatlah kurang. Dan jangan lupa, pada jaman sekarang ini kekuatan tanding sebuah negara tidak lagi diukur dari banyaknya tentara (kuantitas), tapi lebih pada penguasaan teknologi (kualitas).

Bulan lalu lalu ada contoh jelas. Yaitu pada perebutan Asian Idol I. Singapura yang sak-umlik itu memenangi ajang lomba nyanyi bergengsi mengalahkan kelima negara lainnya termasuk Indonesia, India, dan Malaysia yang memiliki jum
lah penduduk besar. Performa Mike Mohede (Indonesia) dan Jackline Viktor (Malaysia) amat memukau semua juri dan penonton. Hadi Myrza (Singapura) Sang Juara bahkan tidak masuk hitungan juri. Lho kok menang? Rupanya mereka dipilih lewat sistem kirim SMS. Dengan penduduk sepadat Indonesia atau India, muskil mereka kalah. Asumsi saya kembali kepada siapa penguasa teknologi, dan bisa ketebak siapa pemilik Telkomsel dan Indosat? Betul; Singapura.

Untung saja kita cuma kalah dalam ajang Asian Idol. Efeknya paling hanya bikin kecewa para ABG penggemar Mike. Pasti jadi bencana kalau kalahnya dalam urusan perang. Sedang kalau bicara soal keberanian TNI, mereka baru teruji melawan mahasiswa dan petani. Belum lagi kita bisa saja dikeroyok lantaran negerinya Siti Nurhaliza itu tergabung dalam sebuah pakta militer bersama Inggris dan Australia. Apabila ada salah satu negara anggota pakta itu diserang negara lain yang bukan pakta, semua harus turut membela. Nah lo! Mau main diplomasi? Bah! Semua pada tahu nasib Sipadan dan Ligitan.

Maka mari kita berkaca, sehingga kita bisa bersama-sama memekikkan “Ganyang Malaysia!”, tapi pelan saja ya, ntar kedengaran tetangga.