Mimpi

Kita punya mimpi. Sebagai bunga tidur atau sebagai cita-cita. Mungkin dalam sebuah tidur saya bermimpi menjadi tentara, tapi tidak mungkin dalam hidup saya bermimpi menjadi tentara. Untuk standar keprajuritan otot saya terlalu lemah dan otak terlalu kuat.

Tapi ini tentang Jakarta. Setiap orang yang datang ataupun tinggal di kota ini punya mimpi. Kalau Amerika punya American Dream, Indonesia punya Mimpi Jakarta. Di Amerika Anda bisa mimpi di Washington DC, New York, Hollywood, atau Las Vegas. Kita lebih spesifik, karena mimpi di Indonesia hanya ada di Jakarta. Itu karena konon 60% dari uang yang berputar di tanah air ada di Jakarta. Uang adalah elemen utama mimipi-mimpi. Maka terjadilah urutan perjalanan yang barangkali contohnya seperti ini; Orang Ambon bermimpi ke Jawa, sampai di pulau ini dia akan mengejar mimpi ke ibu kota. Di Ibu kota ada pilihan jalur sesuai mimpinya, antara lain Senayan atau Istana, Menteng, Pondok Indah, Kemang, Sudirman-Thamrin, atau Kelapa Gading. Kalau sukses menggapai mimpi, dia akan dendangkan lagu; We are the champion my friend… Kalau gagal dorang punya lagu; Sapa suru datang Jakarta…

Jakarta, menurut persepsi GSP bagai pinggul gadis remaja. Barangkali dalam benaknya para pemimpi itu cuma kaum lelaki atau perempuan lesbi. Pada wilayah ketidaksadaran jender lirik itu tercipta. Sesungguhnya justru para gadis remajalah yang acap jadi korban human trafficking. Mereka ditawari mimpi indah, tapi mimpi buruk yang didapat. Jakarta lebih tepat bagai srigala berbulu domba bagi para gadis remaja itu. Atau lebih tepat lagi bagi siapapun yang mendatanginya. Srigala berbulu domba yang tidak pandang bulu. Bulu para pemimpi, pun kelamin mereka. Untuk merebut mimpi Jakarta Anda harus punya otak yang besar dan otot yang kuat. Di luar itu adalah keberuntungan saja. Keberuntungan tidak butuh otak dan otot. Tapi begini, Tohar teman saya, dia berotak pintar nyaris di area Stephen Hawking dan berotot besar mendekati Mike Tyson. Anehnya mimpi-mimpi tak dapat dia raih. Kesuksesannya berbalik 180 derajat dari si Harto yang ototnya seperti Stephen Hawking dan otaknya seperti Mike Tyson. Usut punya usut, yang dimaksud dengan kepintaran otak di sini rupanya lebih pada setrategi penjajagan, taktik penyerangan, sensitifitas akan serangan lawan, daya tahan terhadap gempuran, siasat, dan kecepatan kelit pada situasi sulit. Itu hanya dimiliki oleh otak Tyson dan Harto. Kepintaran otak Tohar jauh dari wilayah itu. Tohar akan berkata; “Jakarta hanya bagi mereka yang licik”, tapi Harto akan berkata; “Aha, itulah kalimat yang keluar dari orang kalah”.

Toh apapun adanya, mimpi itu gratis. Rugi rasanya kalau yang gratis saja kita tidak bisa. Gagal atau sukses, itu urusan tersendiri. Yang penting bermimpilah seindah mungkin sebelum terbangun di emperan toko. Bercita-citalah setinggi bintang di langit, kalau jatuh setidaknya nyangkut di bulan. Begitu bercandanya, tapi wah – sekali lagi – ini Jakarta. Tidak ada atap pencakar langit yang mau menampung mereka yang jatuh dari mimpi gemintang. Atap gedung tinggi bahkan jadi simbol kesuksesan para peraih mimpi. Makanya muncul kosa kata kaum tajir seperti, Roof party, Jakarta night view, Landscape seeing restaurant, Sky garden and swimming pool, dan sebagainya. Semuanya mengacu pada ketinggian. Tidak perlu ke luar kota untuk menjauh dari keruwetan Jakarta, melenting saja setinggi mungkin. Di atas sana bintang tampak lebih terang dan Anda tidak akan tersandung kere yang tidur di trotoar jalanan.

Selamat tidur dan berebut mimpi-mimpi.