God Loves Porn

Al Quran adalah kitab suci paling porno di dunia”.

(Gus Dur)

Saya barangkali termasuk yang sependapat dengan Anda bahwa peryataannya salah. Saya tak suka pilihan kata “Paling”. Sejarah telah banyak menyajikan manuskrip dan literatur porno kepada kita. Kitab suci berbagai agama dan adab membawa versi, pun kadar pornografinya masing-masing. Sebab Tuhan suka porno. Maka tak usah buru-buru menera rate dan endors semacam; Paling, hardcore, semi, XXX, two tumbs up, dan sebagainya.

Buka-bukaan

Apabila asal manusia ini dipercayai berjalan sebagaimana kewajaran ilmiah, yang terjadi adalah sebuah evolusi. Kehadiran manusia dari moyang semacam kera hingga Homo Sapiens. Dari ketelanjangan hingga menemukan pakaian. Apabila diyakini beralur dogma agama, yang ada adalah figur tuhan menurunkan Adam bersama seorang perempuan. Keduanya telanjang. Tuhan tak membekali pakaian, hanya menyediakan kulit kayu serta dedaunan untuk mereka ambil sebagai penutup kelamin. Saya suka. Baik yang percaya ataupun yang tak percaya tuhan, percaya tuhan tak percaya agama, percaya agama tak percaya tuhan, atau mungkin ada terminologi lain lagi, semua suka ketelanjangan. Aurat yang terbuka. Setidaknya pada mulabuka.

Hingga akhirnya ketelanjangan disikapi secara alamiah dengan membuat pakaian, menutup tubuh guna melindungi diri dari serangga dan suhu. Ketelanjangan juga disikapi secara alamiah guna melindungi diri dari kepunahan. Seringnya malah dengan membuka pakaian; Bereproduksi. Bagi pengiman kepada tuhan, ketelanjangan dibiarkan dengan alasan kesakralan. Juga dilanjuti sebagai perilaku seksual dalam memuja sebuah kekuatan agung yang menghidupkan dan menghidupi itu. Sebutlah sosok tuhan dalam konsep ketuhanan awal. Perilaku seksual itu semacam ritual erotik, pemujaan tubuh perempuan di mana kehidupan berasal, persembahan bagi Dewi Kesuburan, tari nan eksotik, patung-patung perlambang persetubuhan, juga doa dan mantra beraroma stensilan. Sebuah konsep ketuhanan yang berbalut cinta. Kasih yang tulus dengan pengorbanan, seks yang panas penuh kegairahan.

Sampai tiba masanya muncul kesadaran para lelaki bahwa kesuburan perempuan yang membenih kehidupan adalah ada campur-tangan – dan selain tangan -mereka juga. Maka hadirlah konsep ketuhanan baru yang sangat macho. Sangat terlasa lelaki meski seolah Androgini. Gagasan ketu
hanan yang harus perkasa dan tak boleh dimadu. Tuhan yang pecemburu: Monotheism
e.

Kubu-kubuan

Konsep ketuhanan awal masih memungkinkan adanya power sharing. Masih ada banyak tuhan ataupun dewa yang memiliki kekuasaan masing-masing. Monotheisme tidak. Kalau toh ada, pastilah tugas malaikat atau para petugas di bawah tuhan. Itupun tanpa kekuasaan yang bersifat otonomik. Segala sesuatunya harus seijin dan terkonfirmasi oleh Sang Tuhan. Tak pelak, konsep ketuhanan monotheisme memecundangi dominasi tuhan dan dewa perempuan. Isis-Meri pelahan menyingkir dari Mesir, Anahita terlunta dinista keluar Persia, Myrra dan Nana tereliminasi dari Yunani, Devaki harus berbagi kalau tak mau dimaki, dan Maria menjadi penyamaran sempurna bagi para dewi yang bersembunyi. Yang lebih buruk adalah mengutuk keindahan tubuh para dewi menjadi sesuatu yang tak suci. Penganut monotheisme menandang meki envy, atau bahkan mungkin lebih parah lagi mengidap Eurotophobia. Sejak itu, karena lebih berotot, ritual cinta berganti tarian peperangan.

Lantas bertumbuhlah sastra lelaki yang diakukan mereka sebagai wahyu Illahi. Sastra yang tak lain untuk mengangkat derajat dan hebatnya lelaki, dus tuhan mereka. Misalnya menasbih manusia pertama adalah lelaki, dan perempuan hanyalah sepenggal iganya saja. Itupun bagian kiri, wilayah yang dinista tak sebaik kanan. Ada yang berpendapat pula apabila perjalanan menembus karma belum sempurna, manusia harus kembali lahir dalam sosok perempuan. Perempuan cuma mahluk setengah lelaki. Tabiat kekanakan adu siapa paling dulu dan berlomba siapa lebih mulia itu sebenarnya memang kebiasaan mahluk tak dewasa, namun menjadi menjengkelkan ketika berlanjut ke kampanye negatif bagi perempuan dan potensi tuhan saingannya. Seperti bahwa perempuanlah yang gampang terayu setan, perempuanlah yang menjerumuskan dunia, tubuhnya adalah sumber celaka, gelembung dadanya adalah sarang dosa. Apel yang terjebak menjadi payudara adalah sebagai tanda agar waspada. Suara mereka adalah merdu goda yang menyesatkan, kerling matanya adalah ajakan neraka. Dan sebagainya. Mereka lantas menasbih bahwa neraka kelak lebih banyak dihuni kaum perempuan. Bahkan beberapa jenis kesakitan kodrati dikatakan sebagai bentuk hukuman bagi perempuan yang sudah harus dicicil saat hidupnya. Di antaranya adalah perut yang perih saat haid, selaput dara robek saat senggama pertama, beban saat mengandung, repotnya menyusui, sakit melahirkan, dan stres pada masa menopause. Tak cukup puas dengan hukuman kredit dari tuhan, para penggiat monotheisme ini bertindak pro-aktif menolong tuhan mereka dengan membabat semua potensi kedigdayaan perempuan. Maka, pada Abad Pertengahan upaya pembersihan Eropa dari anasir-anasir perempuan penyihir mulai dilakukan secara sporadis. Namun di masa berikutnya, Awal Eropa Modern, terjadilah Witch-Hunts (1480 – 1700), era pembunuhan penyihir secara masal dan legal. Gereja dengan amat semangat membinasakan para pemuja Pagan tersebut atasnama pemurtadan. Inkuisisi, itu yang akan terjadi kapan dan di mana saja apabila elit ulama memiliki kuasa penuh terhadap tentara, polisi syariah, atau setidaknya milisi.

Obok-obok

Meski tubuh manusia perempuan tetap sebagai musuh utama, konsep ketuhanan tunggal yang berlambar kecemburuan ini bahkan kemudian bertumbuh dengan ketaksukaan akan tubuh manusia pada umumnya. Eksistensi tubuh diobok-obok. Diendus potensi dosa di dalamnya. Mulai ada kesadaran akan gender equality dalam mewaspadai tubuh. Sebab bagaimanapun, meski sedikit, tubuh lelaki nyatanya juga membawa dosa. Sebagian apel itu menjelma jakun. Saya tak tahu apakah biji apel itu sempat melorot jauh ke bawah menjadi biji yang lain. Dan juga bagaimana muasal batang di sana, tak perlu membicarakannya. Yang justru perlu dibicarakan adalah bahwa lukisan dan patung tubuh karya para seniman menjadi contoh nyata ketaksukaan tuhan baru akan ketelanjangan. Batang berikut biji Adam dalam lukisan fresco Michael Angelo di Chapel Sistine itu beberapa kali mengalami buka-tutup, tergantung semoralis apa paus yang berkuasa menyikapi mural. Juga berlaku bagi patung-patung telanjang. Entah berapa ratus patung yang mengalami amputasi penis dan kemudian ditutup dengan daun mapel di Gereja Vatican itu. Namun sepertinya ada despensasi khusus bagi David, mungkin karena penghormatan kepada beliau sebagai bapak mutilasi penis pertama. Patung karya Michael Angelo itu selamat. Despensasi juga berlaku bagi kesetengahtelanjangan Yesus. Ini amatlah penting meski tak ditampilkan segamblang David, umat akan terarahkan bahwa gambaran tuhan adalah lelaki (Kejadian 1;26). Toh meski ayat berikutnya menyatakan berupa lelaki dan perempuan, pun dipertegas dalam Katekismus nomor 239, salib itu telah ditebus lelaki. Tubuh diijinkan sejauh untuk kepentingan tuhan.







Mewaspadai tubuh bahkan semakin ketat dengan melarang penggambaran mahluk hidup yang mampu bergerak otonom entah itu manusia atau bahkan binatang. Para seniman lukis dan pematung adalah mereka yang terancam siksaan paling pedih di hari kiamat. Sang maha pencipta yang enggan tersaingi ini menantang para seniman yang coba-coba meniru atau menjiplak karya-Nya. Di satu sisi saya membayangkan Dia sebagai kapitalis sejati yang mengajar manusia akan pentingnya pematenan hak cipta dan royalty. Tuhan maha besar yang justru dikonsepkan berhati kecil itu konon akan menagih para seniman untuk menghidupkan karyanya di saat mati. Dia yang rahmat-Nya meliput segalanya (Q. Al-A’raf: 156) ini tak mengijinkan Malaikat Rahmat memasuki rumah yang memelihara anjing dan/atau terdapat patung di dalamnya. Rupanya liputan akan kesegalaan pada ayat tersebut bercatatan kaki.

Saya tak pernah habis mengerti akan tuhan varian baru yang digagas semakin neurosis. Jenis tuhan yang membuat dirinya terjebak dalam suasana ketidakriangan, khususnya ketika Dia dan ciptaannya perlu mengaktualisasikan diri dan ekspresi. Tuhan yang tak berwarna, begitu kaku. Sementara pengabaran kebahagiaan, dakwah keselamatan, dan berita baik harus segera disampaikan. Kekakuan bukanlah citra yang strategis untuk meraup massa. Pada saat-saat seperti itulah seniman justru menjadi penting bagi syiar. Sejarah membuktikan bahwa dakwah kreatiflah yang mudah menarik simpatisan. Dan Resi Vyasa, Homer, Sunan Kalijaga, dan Rasul Paulus, adalah contoh juru kampanye hebat bagi sebuah ajaran. Saatnya para tuhan itu harus sadar diri telah berhutang budi kepada seniman pendakwah.

Para pujangga dan penyungging rupa Nusantara rela beresiko ketiban neraka dengan tetap menggambar mahluk hidup ketika ajaran puritan mengharamkannya. Mereka dengan pintar mendeformasi gambar binatang dengan motif dedaunan atau stilasi sulur-sulur tumbuhan. Bahkan perkembangan berikutnya mengisi dengan huruf Arab. Berkompromi mengevolusi figur wayang Bali yang realis, menjadi wayang Jawa yang lebih menjauh dari sosok manusia. Ketika Sunan kalijaga menggagas wayang yang haram itu sebagai media dakwah, beberapa kesepakatan juga masih harus diikuti. Wayang harus dihadirkan sebagai benda mati dengan menoreh guratan leher sebagai simbol telah disembelih. Juga tidak menampilkan sosok tuhan dalam wujud wayang, hanya boleh diwakili kehadirannya dengan suara dalang. Tubuh tak diijinkan meski untuk kepentingan tuhan.

Bobok-bobok

Bagaimana dengan persetubuhan? Persetubuhan adalah targetan utama dari pembatasan-pembatasan akan eksistensi tubuh. Seperti halnya gila, belum akhil-balik, bego, mabuk, dan bobok, bersetubuh memiliki saat untuk melupakan tuhan. Namun ada perbedaan yang mendasar, yaitu persetubuhan terletak di wilayah kesadaran. Manusia tidak diperkenankan secara sadar melupakan keberadaan tuhan. Karenanya pula manusia tak diperkenankan bersetubuh sebelum ijab atas nama tuhan. Pun setelah terpenuhi syarat itu, Anda tak serta-merta bebas orgasme dengan sempurna. Sangat dianjurkan sadar tuhan saat nikmat dunia itu tengah Anda ejan. Begitulah yang diperbuat nabi
sebaik-baik tauladan. Sebenarnya ada pula
satu hal yang mirip dengan keadaan orgasme dalam saat melupakan tuhan, yaitu bersin. Namun karena kenikmatannya tak sebegitu mengancam keberadaan tuhan dibanding orgasme, maka tak perlu ada semacam ijab atas nama tuhan sebelum sakit flu. Hanya saja tetap dianjurkan menyebut nama tuhan karena itu adalah detik yang melupakan.

Setubuh ketuhanan melahirkan berbagai mekanisme peribadatannya masing-masing. Seperti Hierosgamos , sebentuk upacara kuno kaum Pagan dalam menerjemahkan rasa syukur mereka kepada Dewi Kesuburan. Hal serupa barangkali adalah ritual bercinta Kamasutra dan laku Asmaragama. Atau bahkan yang lebih pelik semacam Sadhana Anuttara Tantra. Kesemuanya tak lain adalah bagaimana mengendalikan birahi dan mempersembahkannya ke haribaan Illahi. Toh di kemudian para penggiatnya lantas memaknai kenikmatan tersebut dengan arah yang berbeda, adalah pilihan masing-masing. Bagi yang menganggap kenikmatan seksual sebagai penghalang kesucian, akan berupaya menjauhi sebisa mungkin dengan laku selibat atau Brahmacari. Bagi yang menganggapnya sebagai karunia, mereka akan melegalkannya dalam pernikahan demi menghindar zina. Bahkan bagi yang begitu bergairah menganggapnya sebagai ibadah, mereka akan berlomba-lomba memperbanyak peluang pahala dengan berpoligami.

Untuk tidak dituduh melakukan zina, aparatur tuhan baru telah menciptakan administrasi persetubuhan. Maka hadirlah mahar yang tak lebih semacam tanda jadi ataupun anggunan. Surat nikah yang tak beda dengan peneng atau dokumen kepemilikan. Ijab-kabul pantas dimaknai sebagai deal-deal transaksi bisnis. Pendeta atau penghulu yang berperan broker atau pialang. Saksi yang agak mirip comblang dagang alias makelar. Dan wali yang agak menyerupai germo atau mucikari. Suasana jual-beli semakin terlihat dengan pernikahan model siri, bawah tangan, mut’ah, dan kawin kontrak. Tampak tuhan memang tidak suka seks bebas, tapi rupanya lebih tertarik mempraktikkan trafficking terselubung.

Persetubuhan administratif memang cukup berhasil dalam menata syahwat umat. Harus teken-meneken surat sebelum tekan-menekan aurat, agar tak buru-buru menghisap yang nyembul sebelum ijab-kabul, ke Pengulu sebelum mengulum, dan seterusnya. Namun kuatnya persetubuhan administratif juga cukup menyulitkan adanya perceraian. Meski boleh, tuhan tak suka itu. Siapa yang menyukai ketaksukaan tuhan? Bahkan konon segala yang telah dipersatukan tuhan tak boleh dipisahkan manusia. Tak perlu dipungkiri bahwa peluang Kekerasan dalam Rumahtangga (KDRT) termasuk poligami, marital rape atau perkosaan dalam pernikahan, terajangi dengan aturan moral itu. Lembaga pernikahan belum betul-betul menghadirkan wadah yang setara. Karenanya ketika seks dan kasih berbuah hipokrisi dan percintaan menjadi mekanistik, saatnyalah pernikahan ditinjau ulang.

Anak Adam perlu kembali mengingatkan tuhan. Tidak menggugatnya, tapi cukup dengan membagkitkan semangat mudanya. Gairah masa remajanya ketika paha menyibakkan cinta. Bukan ketika kelamin diwaspadai sebagai neraka.

__________________________________

Ditulis dalam rangka merayakan Vestalia (7-15 Juni), hari penghormatan kepada Vesta, Dewi bagi hati, rumah, keluarga, dan seks penyembuhan.