10 Kado Islami untuk Kartini

Mengenang Kartini adalah juga mengenang perjuangannya yang berat sekaligus ironi. Lahir sebagai perempuan yang hidup di tengah sistem feodalistik Jawa, penjajahan Belanda, dan kungkungan tradisi Islam. Seorang aktivis feminis awal yang dipeluk Poligami.

Tulisan ini untuk adalah kado ulang tahun untuknya, juga untuk bangsa yang mayoritas perempuan, sekaligus bangsa yang mayoritas Islam. Kado dengan bungkus berlapis untuk dikupas secara saksama dalam tempo sesingkatnya; Poligami.

Poligami adalah persoalan klasik yang sempat kembali menyeruak tatkala ustad sejuta ibu-ibu dikabarkan melakukannya. Kemudian terjadi polemik. Saya juga tertarik untuk ikut arus dan merawat poligami, eh maksudnya polemik tersebut. Sehingga bola salju itu terus menggelinding. Toh perdebatan untuk mencapai kebenaran (ijstihad) memiliki nilai positif di Mata Allah. Maka, mari kita bantu Kartini mengupas kadonya secara tuma’ninah agar tahu mana yang benar mana yang salah, mana yang true mana yang bid’ah.

0. Satu suami dengan lebih dari satu istri

Salah. Poligami, istilah ini tepatnya berarti perkawinan (bukan pernikahan) yang berpola satu dengan dua atau lebih pasangan. Bukan berpasang-pasang, dan bukan hanya satu jantan dengan banyak betina seperti aksioma selama ini. Poligami tersusun dari dua kata; Poli (poly) yang berarti banyak, dan Gami (Gamos) yang berarti perkawinan. Poligami bisa berupa satu jantan dengan banyak betina (Poligini), ataupun satu betina dengan banyak jantan (Poliandri). Poin awal ini sengaja saya tulis penomorannya dengan angka “0” karena sudah menjadi kesalah-kaprahan hampir semua orang. Karena kesalah-kaprahan itu juga dalam tulisan ini sengaja saya tetap menggunakan istilah poligami sekadar keakraban pendengaran saja.

1. Mengakomodasi hasrat seksual lelaki yang tak terbendung

Salah. Yang benar hasrat seksual lelaki bisa dibendung. Ada banyak cara untuk itu. Misalnya berolahraga, giat belajar, aktif bekerja, sholat, berpuasa, dan sebagainya. Selain itu kemampuan seksual lelaki lebih terbatas dibanding perempuan. Begitu sperma memancar, dibutuhkan interval yang cukup lama untuk kembali horny. Memang sih hal ini tergantung usia dan stamina seseorang, tetapi tetap masih berbeda dibanding perempuan. Scrotum harus kembali memproduksi spermatozoid, darah harus dipompa ke arah penis, otot penis harus kembali tegak, stamina harus kembali disiapkan bagi yang berkecenderungan aktif dalam mengendalikan permainan seks, yang biasanya lelaki dan ini hampir tidak begitu perlu dilakukan perempuan. Namun apabila ada suami yang kemampuan seksualnya sangat tinggi, penyelesaian yang sakinah tidak harus dengan menikah lagi. DR Nurcholis Majid pernah mengatakan apabila kita tidak mampu melawan setan besar, pilihlah yang kecil. Saya setuju itu mengingat Allah tidak akan menguji manusia diluar kemampuannya. Artinya, para suami yang lagi tinggi tidak perlu kawin lagi, ataupun beli jadi, tapi cukuplah beronani.

2. Perempuan rela dimadu

Salah. Yang benar tidak ada perempuan yang dengan sukarela dimadu baik secara nurani maupun logika. Ketidakrelaan kaum perempuan bisa berdasar banyak hal. Yang pasti adalah cinta yang tak boleh dibagi. Selain itu juga alasan ekonomi, perhatian kepada anak, dan sebagainya. Terkadang ada kasus yang cukup pelik dimana istri rela dimadu karena dia sendiri juga menyembunyikan rahasia seksual dengan lelaki lain. Sang istri mencoba bertepaslira atas kelakuan suaminya karena dia melakukan perselingkuhan tersebut.

3. Boleh asal adil

Salah. Yang benar sifat adil dalam konteks poligami hanya berhenti pada diri Nabi. Para tetua agama telah melakukan kesalahan berwacana, dan parahnya mendakwahkan kesalahan itu. Mungkin hal itu mereka sengaja karena menguntungkan.

“…maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi; dua,tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja…” (An Nisaa’ 3).

Ayat favorit para ustad yang hobi kawin-mawin tersebut sebenarnya telah gugur begitu turun ayat yang menjelaskan tentang rasa adil dalam surat yang sama.

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…” (An Nisaa’ 129).

Namun begitu, ayat penggugur ini hampir tidak pernah meluncur pada setiap dakwah tentang poligami.

4. Mengikuti Sunah Nabi

Salah. Yang benar, umat hendaknya menyadari rentang waktu Rasulullah monogami selama 28 tahun. Kemudian menduda selama dua tahun setelah wafatnya Khadijah. Monogami Nabi jauh lebih panjang daripada hidup poligami beliau. Perkawinan Nabi yang ketiga sampai yang terakhir terjadi dalam rentang waktu yang pendek (antara tahun kedua sampai tahun ketujuh Hijriyah) hanya lima tahun. Beliau wafat pada tahun 632 M atau tahun ke-10 H, tiga tahun setelah perkawinan terakhirnya. Sejarah mencatat beliau berpoligami setelah lewat 54 tahun, usia di mana kemampuan seksual lelaki mulai menurun. Artinya aktivitas poligaminya lebih bersandar pada dakwah dan bukan nafsu. Yang juga menarik, Nabi justru tidak mengijinkan Ali ketika Fatimah putrinya hendak dimadu. Pernyata
an keras ini beliau ucapkan saat berpidato di atas mimbar;

“Sesungguhnya anak-anak Hisyam bin Mughirah meminta ijin kepadaku untuk menikahkan putrinya dengan Ali. Ketahuilah bahwa aku tidak mengijinkannya, aku tidak mengijinkannya, aku tidak mengijinkannya, kecuali jika Ali menceraikan putriku dan menikahi anak mereka. Sesungguhnya Fatimah bagian dari diriku. Barangsiapa membahagiakannya berarti ia membahagiakanku. Sebaliknya barangsiapa yang menyakitinya, berarti ia menyakitiku” (Diriwayatkan dari Al-Miswar ibn Makhramah).

Hadis tersebut ditemukan dalam berbagai kitab hadis yaitu; Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tarmidzi, Musnad Ahmad, dan Sunan Ibnu Majah, dengan redaksi yang persis sama, menandakan keakuratan sumber. Dari prespektif ilmu hadis, itu menunjukkan diriwayatkan secara lafzhi. Pernyataan yang diulang tiga kali menunjukkan betapa hal itu sangat penting dan perlu diperhatikan.

5. Sarana sosial membantu kaum janda dan anak yatim

Salah. Yang benar apabila ingin membantu mereka dalam hal harta dan perhatian, bisa dilakukan tanpa harus dengan mengawini sang janda atau ibu para yatim. Justru itu lebih baik, ikhlas, tidak bersuasana membeli tubuh janda, juga tidak menimbulkan fitnah. Santunilah kaum dluafa tanpa pamrih.

6. Sarana memperbanyak generasi

Salah. Apabila Allah berkehendak segera memperbanyak keturunan manusia di muka bumi, tentu sudah dilakukannya pada awal-awal saat penciptaan Adam. Allah hanya menciptakan Adam berpasangan dengan Hawa. Allah tidak “mengorbankan” Hawa demi percepatan populasi. Kalau itu yang terjadi, pastilah Allah akan menciptakan Adam dengan Hawa, Maria Eva, Teh Rini, Teh Ninih, Mulan, dan sebagainya.

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya. Dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak” (An Nisaa’ 1).

7. Populasi perempuan lebih banyak dari lelaki

Benar, menurut data populasi perempuan lebih banyak dari laki-laki. Karena perempuan lebih menjaga kesehatan, tidak boleh menjadi sasaran dalam perang, dan lebih bisa menyiasati kematian. Tapi bukan lantas karena itu, jumlah boleh dijadikan alasan untuk dinikahi. Statistik juga menyatakan sebagian besar kelebihan “kuota” perempuan itu ada pada usia renta, tidak produktif, dan janda korban perang. Artinya apabila ini dijadikan alasan, pelaku poligami hendaklah tidak memilih mereka yang masih berusia muda.

8. Simbol ujian dan ketinggian derajat tetua agama

Salah. Dahulu ada citra bahwa semakin banyak istri, semakin diakui tingkatan ilmu dan derajat para pemuka agama. Maka tidak heran banyak ulama dan kiyai yang beristri lebih dari satu. Aa’ Gym, rupanya terarus mitos itu. Dia menyatakan secara tersirat bahwa hendak belajar adil pada tataran yang lebih tinggi. Dia juga menyatakan agar hal ini tidak diikuti karena dibutuhkan tingkat ketakwaan yang lebih. Aa’ juga menyatakan bahwa ia juga baru pemula, dan perlu belajar. Pernyataan ini bersuasana riya’. Yang benar;

“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman (laki-laki dan perempuan) di antara kamu dan mereka yang berilmu (laki-laki dan perempuan) beberapa derajat” (Al-Mujadah 11).

Untungnya mitos bahwa derajat lelaki berbanding lurus dengan semakin banyak istri itu sudah berkurang pengaruhnya. Pamor Aa’ segera turun ketika berpoligami.

9. Simbol ujian dan tingkat ketaqwaan istri

Salah. Perempuan, istri yang akan dimadu, dan calon istri, didoktrin konsep agama yang apabila tidak menerimanya berarti bukan muslimah yang taqwa. Taqwa, kata ini sangat memukau ketika mengalir bersama kalimat;

“…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu..”. (Al Hujurat 13).

Ya betul sih, tapi ayat ini berlaku untuk semua jenis kelamin. Ayat ini tidak hanya untuk perempuan, sehingga ketika menolak dimadu suami, tidak lantas berarti dia bukan istri soleqah atau kurang taqwa. Menerima tawaran dimadu suami juga bukan berarti contoh istri yang lulus ujian ketaqwaan. Yang biasanya beriringan dengan hal itu adalah tatkala para istri koleksian ditanya tentang harapan mereka akan pemenuhan cinta dari suami, para istri tersebut memiliki jawaban standar. Mereka menyatakan bahwa cinta dari Allah lebih penting daripada cinta dari suami. Tepatnya, “Mencintai Allah adalah segalanya. Apabila kita mencintai Allah, insyaallah kita akan dicintai suami”. Begitulah istri yang soleqah. Tolong.

10. Identitas Kaum Muslim

Salah. Poligami sudah mentradisi pada beberapa kepercayaan dan agama sebelum Islam datang merombak konsep lama itu. Raja-raja Persia, Babylonia, Mesopotamia, dan Sumeria, para Firaun Mesir dan para kepala suku Afrika, Kaisar China dan Roma, Para kepala suku di Indian Astek, Maya, dan Inca, dan banyak lagi. Para raja Hindu di India dan Idonesia melakukan polig
ami sebagai hal biasa. Bahkan dalam pernikahan Nasrani, ada kalimat yang selalu disampaikan;

“Semua yang telah dipersatukan Tuhan, tidak boleh dipisahkan oleh manusia”.

Klausul itu jelas tidak mengijinkan perceraian. Namun juga menyiratkan untuk tidak melarang menikahi yang lain lagi. Pada praktiknya justru kaum Nasrani tampak lebih arif untuk tidak memanfaatkan ayat cinta itu. Jadi terserah Anda sekarang untuk mengidentifikasi sebagai siapa dengan cara bagaimana.

Selamat merayakan Hari Kartini tanpa Poligami.