Menggembok Birahi

“Telur apa yang belum menetas sudah bertelur?” Tak lain adalah telur Pornografi. Pornografi, sejauh ini definisinya masih sumir dan belum menjadi kesepakatan pihak-pihak. Pun begitu, telah menyusul istilah bentukan yang mengikutinya: Pornoaksi.

Parno Terhadap Si Porno

Setidaknya batasan keduanya sempat ditanyakan Inul Daratista, penyanyi dangdut yang hadir di gedung DPR sehubungan dengan rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi, dulu banget. Sebagai salah satu warga negara yang taat hukum, bukan koruptor dan atau pelanggar HAM, saya telah terbiasa – dan siap sepakat – dengan setiap produk hukum keluaran negara sejauh masuk akal serta memenuhi rasa keadilan. Namun sebaliknya, jadi tidak rela rasanya apabila hadir undang-undang tanpa dasar jelas, buru-buru, dan tidak cerdas. Karena itu RUU Anti Pornografi (dan Anti Pornoaksi) biarlah menjadi wacana dalam masyarakat dulu sebelum disyahkan menjadi undang-undang. Agar perdebatan dan persinggungan pemikiran yang dialektis diharapkan akan bisa memperkaya mutu undang-undang itu nantinya. Kalau tidak, justru masyarakat yang akan direpotkan. Misalnya saja sangat mungkin terjadi, urusan privat sepert birahi seseorang diterjemahkan salah sebagai tindak asusila. Dengan UU Anti Pornografi macam itu, saya khawatir akan menjadi warga yang mudah melanggar hukum.

Pornografi, sebagaimana yang saya tangkap sementara ini, lebih menjadikan (dan menampilkan) perempuan sebagai obyek. Dalam banyak bentuk (tidak dibaca; pose). Selain dalam bentuk visual yang sudah sangat lumrah, tubuh perempuan juga dijadikan obyek birahi verbal misalnya pada cerita – cerita stensilan, dan dalam perilaku penghiburan masa. Hal terakhir ini yang membuat Rhoma Irama sewot. Saya hanya khawatir bahwasannya kesewotan Rhoma bukan lantaran alasan pembelaan kepada kaum perempuan, tapi tak lebih kesilapan mata dalam menatap goyang Inul dan cara Rhoma memaknainya saja.

Goyang adalah bagian dari cara Inul ataupun Dewi Persik berekspresi. Mereka dengan sepenuh kesadaran tidak dalam posisi mau dikuasai apalagi mau dilecehkan. Justru merekalah yang sesungguhnya mengusai penonton dalam posisinya sebagai entertainer. Kalau undang-undang ini nantinya bisa menghadang kemungkinan terjadinya tindak pelecehan terhadap perempuan tentu baik adanya. Namun apabila yang terjadi hanya sebagai perangkat pemasung kebebasan berekspresi, ataupun alat kontrol kehidupan pribadi warga negara, lebih baik tidak usah dilanjutkan saja. Untuk itu, sebelumnya para pembuat undang-undang harus menghindari kemalasan alias tidak mau berfikir ekstra keras, harus rajin mengurai terminologi, tidak paranoid terhadap modernitas, dan sabar merajut jaringan ayat-ayat agar tidak tercipta pasal-pasal (tangan) besi ataupun pasal-pasal ruber, eh karet.

Media Korban Pertama, Perempuan Korban Utama

Bagaimana dengan situs Internet ataupun media yang dianggap porno seperti misalnya milik majalah Playboy dulu? SBY dus menkominfo Muhammad Nuh seperti mendapat angin saat Fitna dan vagina dituduh mengusik umat dari alam maya. Bersama mereka bisa, dan saya cuma bisa geleng kepala ketika banyak situs diblokir seenaknya. Adalah Dewan Pers, lembaga yang paling berkompetensi membicarakan dari sudut media. Dan prinsip kebebasan pers rupanya memang harus dipegang teguh dan dilaksanakan oleh lembaga itu. Meskipun begitu, Dewan Pers tidak mempunyai otoritas untuk menghentikan atau melarang penerbitan. Pasal dalam UU No.40/1999 tentang Pers tidak memberikan kewenangan tersebut. Satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk menolak pengesahan pendirian badan hukum penerbitan media di Indonesia adalah Departemen Hukum dan HAM. Departemen ini bersama kekuasaanya dengan mudah bisa menolak. Alasan klasik yang tersedia dan tinggal pungut adalah tidak sesuai dengan budaya dan moralitas Bangsa Indonesia. Moralitas Bangsa? Hmm… Pertanyaannya; apakah Departemen Hukum dan HAM akan memilih jalur instan atau jalan penuh pemikiran? Saya tidak ikuti lagi kabar majalahnya Hugh Heffner itu, tapi menang atau kalah adalah sekadar bukti bijak atau piciknya para penguasa belaka.

Pemberangusan media, cukupkah membersihkan moral bangsa? Tentu tidak ada yang cukup suci dalam ukuran moralitas. Perempuan yang dianggap sebagai tujuan akhir produk amoral harus diblokir juga. Saya rasa karena belum pintar menjahit kelamin, cukuplah menggembok celana dalamnya. Ini bukan lelucon, ini telah terjadi di Malang dan konon menginspirasi kota lain. Perempuan yang bekerja di panti pijat itu digembok dan kunci dipegang oleh majikannya. Seakan perempuanlah yang selalu menjadi provokator perjinahan. Dan rupanya aktivitas seksual dalam kamus mereka hanya sebatas masuknya – saya tidak perlu minta maaf dalam menggunakan kata benda berikut, karena memang resmi tercantum dalam KBBI – batang kontol di dalam memek/dubur. Saya hanya khawatir, tulisan ini justru membuat mereka sadar, kemudian menambah gembok untuk tangan dan mulut.

Kasus ini sebenarnya menunjukkan bahwa tindakan penyucian moral bangsa yang dilambari semangat pornofobi hanya akan membodohkan dan menistakan bangsa. Menumbangkan salah satu pilar demokrasi dan menelusupkan perempuan kelumpur paling dina. Saya hanya bisa berharap siapapun para amtenar negeri ini hendaknya tidak cepat silap mata dalam membaca sebuah terbitan atau tayangan online apapun isinya. Kalau tidak, saya harus mempersiapkan diri jadi Larry Flint. Siapa mau ikutan?