Nude, Fine Art, Rock, n’ Rule

“Apabila politik kotor, tugas kesenian membersihkannya” (J F Kennedy)

Kalau ada gayung, kata bijak Kennedy tentu akan bersambut. Misalnya, “Kalau seni kotor, siapa yang bertugas membersihkannya?” Untuk sebuah kelakar, hmm.. bolehlah, tapi tentunya tidak sesederhana itu bukan? Pada fitrahnya politik memang berangkat untuk kekuasaan, dan sudah selayaknya cara apapun bisa sah dipakai untuk mendapatkan kekuasaan itu. Karena itu wajar saja kalau politik tend to kotor.

Seni berangkat dari lubuk yang berbeda. Memberi ruang luas untuk berekspresi sekaligus mengakomodasi kebebasan adalah bagian dari keberadaannya. Dengan begitu seni adalah juga menjadi media pelepasan dari ketertekanan. Di negeri ini terminologi seperti itu tidak berlaku. Seni sebagai pelepas ketertekanan justru acap mendapat tekanan. Tentu saja tekanan datang dari mereka yang lebih berkuasa. Dan ini sudah memiliki catatan panjang dalam sejarah. Misalnya saja kisah Cak Durasim seniman yang dipenjara oleh kampetai gara-gara melantunkan kidung Jawa Timuran yang mengkritik penjajah Jepang waktu itu. Ketika Indonesia merdeka dari para penjajah, tidak serta merta kesenian terbebas dari pembelengguan. Soekarno memenjarakan Koes Plus hanya karena musiknya Ngak-ngik-ngok alias Kontra Revolusi (Toh, ketika ahirnya Koesplus mengaku semua hanya sebuah drama operasi intelejen, itu menjadi soal lain). Di jaman Soeharto, rejim Orde Baru jauh lebih rapat membekap kesenian. Sastra, teater, seni rupa, dan sebagainya apabila dirasa mengusik kenyamanan penguasa pasti dihadang. Hingga reformasi singgah di Indonesia. Singgah. Reformasi secepatnya pergi ketika bebas bicara dimaknai caci maki, bebas berkumpul diartikan membentuk milisi, dan beda pendapat adalah semangat asal tolak terhadap apapun. Sikap ini umumnya diusung oleh para pecundang di jaman Soeharto dan sontak menjadi berani pasca Orde Baru.

Di sinilah seni kembali menemui penolaknya. Sebut saja contoh kasus gambar sampul novelnya Dewi Lestari, gambar sampul kasetnya Iwan Fals, juga filmnya Garin Nugroho. Tak lain adalah diprotes sekelompok orang karena menggunakan simbol-simbol dalam agama Hindu. Yang membuat sedih adalah ketika protes menjadi alat ancam, dan dialog dianggap hanya membuang waktu saja. Ini terjadi ketika pada pameran seni karya kolaborasi antara Seniman Agus Suwage dan Photograper Davy Linggar di Museum Nasional tanggal 6 September tahun 2006 dulu. Pameran yang mengusung tema Urban/Culture berobjek artis Anjasmara itu rupanya menarik minat para pekerja infotaiment. Mereka menyebarkan informasi yang dibenturkan dengan moral agama menyangkut ketelanjangan Anjas, bukan lagi berkaitan dengan ketelanjangan sebuah budaya urban, sebuah karya seni. Ujungnya FPI, milisi genre kekerasan berbasis Islam meminta karya tersebut diturunkan atau mereka sendiri yang akan menurunkannya. CP Biennale kedua itu terpaksa ditutup. Selamat datang (kembali) era kesenian tanpa daya.

Sebagai korban kebiri ekspresi, Agus Suwage tidak sendirian. Pekerja seni yang lain juga terhadang jerat moral sepihak oleh mereka yang merasa paling berhak menjadi penerjemah aturan main dalam Islam. Adalah grup papan atas Dewa 19 yang dalam salah satu aksi panggungnya dianggap melecehkan Islam karena beraksi di atas karpet bertulis Allah. Dhani pimpinan grup ini dicurigai sebagai antek Yahudi. Sampai-sampai ada yang meluangkan waktu menganalisa sampul kaset Dewa 19 dari album pertama sampai terakhir. Hasilnya banyak terdapat simbol-simbol Illuminati dan Freemasonry terpampang di sana. Ini semakin memperkuat kecurigaan mereka. Ada-ada saja. Dan tentu yang paling heboh saat itu adalah upaya meredam bor yang diputar Inul Daratista. Aksi ngebornya memicu polemik perlu-tidaknya UU Pornografi. Goyang pinggulnya dianggap meresahkan umat. Saya hanya merasa barangkali karena jauh melebihi standart derajat goyang seniornya; Camelia Malik dan Elvi Sukaesih. Weleh!

Waspadalah!

Getaran bor Inul sudah tidak terasa lagi, mungkin lelah, mungkin kalah dahsyat dibanding bor Lapindo. Pun polemik tentang pornografi tampak telah mereda. Para pekerja seni sudah bisa bernafas lega? Ternyata belum juga. Kali ini giliran Slank, grup pop rock paling digemari anak muda itu nyaris kena batunya. Batu itu hendak dilempar dari senayan, bukan dari pemerintah atau milisi. Badan Kehormatan DPR merasa Slank menyinggung kehormatan mereka. Pada sebait pendek lirik lagu berjudul “Gosip Jalanan” itu, disebutkan ada mafia Senayan, tukang bikin undang-undang yang ujung-ujungnya duit. Entah karena apa, gugatan itu urung diwujudkan. Eh, mungkin mereka tiba-tiba ingat pameo bahwa cepat tersinggung, justru menunjukkan gosip itu benar. Memang kita tidak harus sepakat dengan pameo itu, tetapi ada satu hal yang penting. Adalah kepekaan DPR yang keterlaluan terhadap kritik kepada nama baik mereka, sementara kepekaan akan nasib rakyat yang mereka wakili justru tumpul.

Baiklah, meskipun toh gugatan itu batal, hendaknya penggiat budaya tidak boleh lengah. Ancaman bisa saja timbul karena niat dan kekuasaan para pelakunya. Waspadalah! Akhirnya sebagaimana pertanyaan di atas kalaupun toh seni dikata kotor, rasanya bukanlah tugas penguasa ataupun orang parlemen membersihkannya. Dengan otoritas yang dimiliki dan sensitifitas yang keterlaluan, dengan sikap sok tahu akan adab, maka produk hukum keterbelakanganlah yang dihasilkan. Simak saja undang-undang dan perda yang tercipta, juga blokir situs internet yang babi-buta. Pasti juga bukan tugas agama membersihkannya. Terlebih dengan dominasi kekuasaan moralitas yang dimilikinya, saya tidak yakin akal sehat akan diajak serta. Sekalipun begitu, sebagai seorang yang menjauhi kekerasan, saya sangat tidak berharap OI (penyingkatan dari Orang Indonesia, kelompok penggemar Iwan Fals, Slankers (penggemar berat Slank), Baladewa (penggemar Dewa 19), FBI (Fans Berat Inul), dan The Neters (para penyuka internet) bersatu menggunakan kekerasan melawan kelompok agama ataupun gerombolan politisi yang mengusik idolanya. Waspadalah!

*) Untuk Dewi Persik, maaf ya saya terlewat mengulas kisahmu. Juga gak tahu istilah untuk para penggemarmu. Takutnya nanti ternyata penggemar Persik Kediri.